SuaraParlemen.co, Jakarta, 22 April 2025 – Sebagai praktisi perbankan yang mengamati dinamika sistem pembayaran nasional, saya melihat QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) bukan sekadar inovasi teknologi. Keduanya merupakan manifestasi kemandirian Indonesia dalam mengendalikan ekosistem finansialnya.

Sejak diluncurkan beberapa tahun lalu, QRIS dan GPN telah menjadi tulang punggung transaksi digital dalam negeri, menyatukan sistem yang sebelumnya terfragmentasi menjadi lebih standar, efisien, dan inklusif. Namun, di balik sukses domestik ini, tekanan global—khususnya dari raksasa finansial Amerika Serikat—semakin terasa.

Lobi 2019 vs Ketegasan Bank Indonesia: Awal Perlawanan

Pada 2019, perusahaan kartu global seperti Visa dan MasterCard mulai melobi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) agar melonggarkan kebijakan wajib GPN. Mereka berargumen bahwa aturan tersebut akan menghambat investasi asing karena semua transaksi debit domestik wajib diproses lewat infrastruktur lokal.

Namun, BI bersikap tegas: kedaulatan sistem pembayaran adalah harga mati. Dan itu bukan tanpa alasan.

Sebelum GPN, lebih dari 80% transaksi kartu debit Indonesia bergantung pada jaringan asing. Dampaknya? Biaya transaksi (interchange fee) dan data konsumen mengalir ke luar negeri. Dengan GPN, Indonesia mengambil kembali kendali, memastikan seluruh transaksi antar-bank dikelola oleh infrastruktur dalam negeri.

2025: QRIS dan GPN Dituduh “Proteksionisme Digital” oleh AS

Memasuki 2025, tekanan kembali muncul. United States Trade Representative (USTR) secara resmi menyebut QRIS dan GPN sebagai penghalang bagi perusahaan fintech Amerika, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk “proteksionisme digital”.

Namun, mari kita kupas: mengapa AS begitu vokal?

  1. Kehilangan Pasar Potensial

Sejak 2023, QRIS digunakan oleh 45 juta UMKM dan mencakup 85% transaksi digital mikro di Indonesia. Visa dan MasterCard kehilangan peluang besar dalam sektor ini.

  1. Skema Biaya yang Terpangkas
Baca juga :  DPRD Muaro Jambi Gelar Rapat Paripurna Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Terpilih

GPN hanya mengenakan biaya 0,3–0,5% per transaksi, jauh lebih murah dibandingkan skema Visa/MasterCard yang bisa mencapai 1,5%.

  1. Akses Data yang Dibatasi

Data transaksi QRIS dan GPN diproses sepenuhnya di dalam negeri, menghalangi perusahaan asing untuk memanfaatkannya secara komersial. Di era digital, data adalah “emas baru”—dan Indonesia memilih untuk menyimpannya sendiri.

Membongkar Narasi “Proteksionisme” ala USTR

Tuduhan USTR patut dikritisi. Faktanya:

– QRIS dan GPN Terbuka untuk Kolaborasi

Perusahaan asing tetap bisa berpartisipasi—selama mengikuti regulasi lokal. Beberapa bank asing di Indonesia telah terhubung dengan GPN.

– Instrumen Inklusi, Bukan Eksklusi

QRIS dirancang untuk UMKM dan pelaku usaha kecil yang tak mampu membeli alat EDC atau menanggung biaya tinggi dari sistem internasional.

– Langkah yang Juga Dilakukan Negara Lain

India dengan UPI, Tiongkok dengan UnionPay, Brasil dengan PIX—semuanya menerapkan sistem pembayaran lokal. Bahkan, AS sendiri melindungi sistem mereka.

Mengapa Indonesia Harus Bertahan?

Transaksi Domestik, Perkuat Rupiah

QRIS dan GPN memproses transaksi menggunakan rupiah, membantu menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar.

Keamanan Data di Tangan Sendiri

Kebocoran data seperti pada kasus Tokopedia 2020 menjadi pelajaran: data rakyat harus dilindungi oleh sistem lokal, bukan dikelola pihak asing.

Inovasi Fintech Lokal Terbantu

Ekosistem QRIS mendorong pertumbuhan LinkAja, DANA, OVO, dan dompet digital lokal lainnya. Tanpa infrastruktur lokal, inovasi ini mungkin kalah bersaing.

Tantangan ke Depan: Antara Kolaborasi dan Kedaulatan

Tekanan dari USTR kemungkinan besar belum berakhir. Indonesia harus siap menghadapi risiko pembalasan dagang atau kampanye negatif. Namun, strategi tetap bisa ditempuh:

  1. Perkuat Diplomasi Ekonomi

Jelaskan bahwa kebijakan ini bukan proteksionisme, tapi solusi atas kebutuhan unik pasar Indonesia.

  1. Edukasi dan Sosialisasi kepada UMKM
Baca juga :  Aliansi Gayo Bela Palestina Ajak Masyarakat Aceh Tengah Turun ke Jalan dalam Aksi Solidaritas Palestina

Sampaikan bahwa biaya QRIS lebih murah dan sistemnya lebih aman, agar mereka tidak tergoda oleh promo dari platform asing.

  1. Ekspansi QRIS Cross-Border

QRIS sudah mulai digunakan lintas negara, seperti di Malaysia dan Thailand. Ini membuktikan bahwa sistem Indonesia terbuka untuk kerja sama regional, asalkan saling menguntungkan.

Kesimpulan: Kedaulatan Bukan Pilihan, tapi Keharusan

QRIS dan GPN adalah simbol kedaulatan finansial Indonesia. Mereka bukan hanya alat transaksi, tapi pondasi agar Indonesia tidak lagi menjadi “pasar empuk” bagi korporasi asing.

Jika ada yang memprotes, biarkan saja—itu justru tanda bahwa kita sedang berada di jalur yang benar.

Dengan sistem yang “by Indonesia, for Indonesia”, kita memastikan:

  • Nilai tambah ekonomi tetap di dalam negeri
  • UMKM tumbuh dan berkembang
  • Kebijakan nasional tak didikte oleh kepentingan asing

Sekarang saatnya Indonesia berdiri sejajar dengan negara besar lain. Karena dalam dunia digital, siapa yang mengendalikan sistem pembayarannya, dialah yang mengendalikan masa depannya.