SuaraParlemen.co, Jakarta, 14 Maret 2025 – Penerimaan pajak dalam dua bulan pertama tahun 2025 mengalami penurunan drastis. Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkan bahwa hingga Februari 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun atau sekitar 8,6 persen dari target yang ditetapkan. Angka ini mengalami penurunan tajam sebesar 30,19 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2024, yang mencapai Rp269,02 triliun.
Secara keseluruhan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit sebesar 0,13 persen atau Rp31,2 triliun per 28 Februari 2025. Belanja negara telah mencapai Rp348,1 triliun, sedangkan pendapatan hanya sebesar Rp316,9 triliun.
Faktor Penyebab Anjloknya Penerimaan Pajak
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan beberapa faktor yang menyebabkan penerimaan pajak menurun drastis:
- Penurunan Harga Komoditas – Harga beberapa komoditas utama mengalami penurunan, seperti batu bara yang turun 11,8 persen (yoy), minyak turun 5,2 persen, dan nikel turun 5,9 persen.
- Masalah Administrasi – Terdapat kendala dalam penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 serta relaksasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga mencatat bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 turun hingga 30,2 persen. Jika dibandingkan dengan Januari 2024, penerimaan pajak bahkan anjlok 40,4 persen secara tahunan.
Huda menyoroti dua penyebab utama penurunan ini:
- Pengembalian Lebih Bayar Pajak (Restitusi) – Restitusi pajak untuk periode 2024 yang dibayarkan pada Januari 2025 mencapai Rp265,67 triliun atau tumbuh 18,8 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023.
- Gangguan Sistem Coretax – Sistem baru ini menyebabkan pelaporan PPN terhambat, membuat para pelaku usaha menahan transaksi akibat gangguan yang terjadi selama masa pelaporan hingga Februari 2025.
APBN Defisit dan Utang Melonjak
Huda juga mencatat bahwa APBN 2025 sudah mengalami defisit 0,13 persen. Ia khawatir rasio defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dapat mendekati atau bahkan melebihi 3 persen pada akhir tahun. Sementara itu, belanja pemerintah mengalami penurunan sebesar 7 persen (yoy), dengan belanja kementerian/lembaga yang merupakan belanja rutin menyusut hingga 30,33 persen. Sebaliknya, belanja untuk program seperti Makan Bergizi Gratis dan lainnya justru tumbuh 6,91 persen, yang menurutnya menunjukkan ketidakseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan negara.
Tak hanya itu, utang negara juga mengalami lonjakan signifikan. Pada Januari 2025, utang tumbuh hingga 44,77 persen, dan dalam periode akumulatif hingga 28 Februari 2025, utang bertambah 19,42 persen atau sekitar Rp220 triliun. Dibandingkan dengan Februari 2024, peningkatan utang saat itu hanya sebesar 1,16 persen. Jika tren ini berlanjut, Huda menilai kondisi pengelolaan utang negara patut menjadi perhatian serius.
Dampak Kebijakan Populis dan Perubahan Fiskal
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny Sasmita, menilai anjloknya penerimaan pajak sebesar 30 persen tak lepas dari kebijakan populis Presiden Prabowo Subianto. Beberapa kebijakan yang dinilai mengurangi penerimaan negara antara lain:
- Pemangkasan PPN untuk memberikan diskon tiket pesawat mudik Lebaran 2025.
- Insentif pajak untuk sektor properti dan kendaraan listrik di akhir tahun.
Menurut Ronny, kebijakan populis ini lebih bersifat politis dibandingkan sebagai strategi ekonomi atau fiskal. Meskipun tujuannya untuk memberikan keuntungan bagi masyarakat, dampaknya terhadap penerimaan negara cukup signifikan.
Di sisi lain, Ronny juga menyoroti kontraksi yang terjadi di sektor manufaktur dan jasa, yang semakin menekan penerimaan pajak. Ia berharap kebijakan fiskal yang diambil dalam pemerintahan Prabowo dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu dekat.
Meski kondisi saat ini cukup mengkhawatirkan, Ronny melihat ada peluang perbaikan dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Jika dimanfaatkan dengan baik, Indonesia bisa memperoleh keuntungan dari ekspor komoditas utama seperti batu bara, CPO, dan gas. Hal ini dapat menjadi salah satu sumber pemasukan negara yang lebih tinggi di masa mendatang.
Kesimpulan
Penurunan penerimaan pajak di awal 2025 menjadi alarm bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal. Defisit APBN yang terus meningkat dan lonjakan utang negara menjadi tantangan besar dalam pengelolaan keuangan negara. Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mengoptimalkan penerimaan pajak serta menjaga keseimbangan antara belanja dan pendapatan guna menghindari risiko fiskal yang lebih besar di masa depan. (Amelia)
Tinggalkan Balasan