SuaraParlemen.co, Banda Aceh — Dalam rangka memperingati World Day Against Child Labour atau Hari Dunia Menentang Pekerja Anak yang diperingati setiap 12 Juni, Dewan Pimpinan Wilayah Sekber Wartawan Indonesia (DPW SWI) Provinsi Aceh menegaskan komitmennya dalam memperjuangkan hak-hak anak dari ancaman eksploitasi dan praktik kerja anak yang masih marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Sekretaris Wilayah DPW SWI Aceh, Adhifatra Agussalim, menekankan bahwa pekerja anak adalah bentuk kekerasan struktural terhadap generasi muda. Ia menilai praktik ini mengancam tumbuh kembang serta masa depan anak-anak Indonesia.
“Pekerja anak bukan hanya soal kemiskinan, tapi juga soal kurangnya perlindungan, kesadaran sosial, dan lemahnya pengawasan. Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat, termasuk media, menjadi garda terdepan dalam menyuarakan hak-hak anak,” ujar Adhifatra, Jumat (13/6/2025).
Sebagai bentuk keberpihakan terhadap anak, DPW SWI Aceh turut menyampaikan pesan haru dari Nabila Zahira (15), seorang anak dari Aceh Besar yang menjadi simbol suara anak-anak Aceh:
“Banyak teman sebaya saya yang terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Tapi kami tetap ingin sekolah, bermain, dan belajar seperti anak-anak lain. Kami mohon semua pihak jangan abaikan suara kami. Anak bukan tenaga kerja, anak adalah masa depan bangsa,” ungkap Nabila.
Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa peringatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak bukan sekadar seremoni, melainkan momentum perubahan nyata. Perubahan yang dimulai dengan mendengarkan suara anak-anak dan melibatkan mereka dalam proses pengambilan kebijakan.
Menurut data terbaru Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), lebih dari 160 juta anak di dunia masih terjebak dalam situasi kerja anak. Di Indonesia, kasus pekerja anak masih banyak ditemukan di sektor informal seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan jasa domestik.
DPW SWI Aceh juga mencatat laporan dari sejumlah jurnalis di berbagai kabupaten/kota yang menunjukkan adanya praktik pekerja anak tersembunyi, terutama dalam lingkungan keluarga dan usaha mikro.
Sebagai respons, SWI Aceh menggagas inisiatif “Jurnalis Sahabat Anak”, sebuah gerakan yang melibatkan jurnalis muda dan senior. Inisiatif ini akan meliputi pelatihan peliputan isu anak, penyusunan kode etik pemberitaan ramah anak, hingga kolaborasi dengan lembaga pemerhati anak dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A).
Melalui momentum ini, DPW SWI Aceh menyerukan kepada seluruh elemen bangsa:
1. Pemerintah daerah untuk memperkuat kebijakan perlindungan anak dan penghapusan pekerja anak.
2. Dunia pendidikan agar memberikan prioritas pada akses dan kualitas pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
3. Media massa untuk secara aktif mengangkat narasi anak yang adil, konstruktif, dan memberdayakan.
4. Masyarakat luas untuk peduli serta melaporkan jika menemukan indikasi praktik pekerja anak.
“Anak-anak bukan bagian dari pasar tenaga kerja. Mereka berhak atas masa depan yang cerah. Kita semua bertanggung jawab menjaga hak-hak mereka,” tutup Adhifatra Agussalim. (Kjp)
Tinggalkan Balasan