SuaraParlemen.co, Jawa Barat – Sebuah video yang memperlihatkan sekelompok pelajar berjalan tanpa alas kaki melewati jalan berlumpur menuju sekolah baru-baru ini menjadi viral di media sosial. Dalam video tersebut, anak-anak tampak menggulung rok seragam mereka agar tidak terkena lumpur, sementara sepatu digantung di leher.
Anak-anak itu menyapa Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam video tersebut. Mereka mengaku telah mengikuti instruksi untuk tetap pergi ke sekolah meskipun harus berjalan kaki. Namun, satu-satunya jalan menuju sekolah dalam kondisi rusak dan berlumpur—dan ini sudah berlangsung selama 15 tahun.
“Pak Dedi, bukankah ini negeri merdeka? Bantulah kami untuk mendapatkan indahnya kemerdekaan,” ujar seorang siswi SD dalam video, dikutip dari SuaraParlemen.co, Selasa (13/5/2025).
“Pak Dedi, kami adalah rakyatmu. Di saat pemimpin lain tidak mampu mendengar suara kami, kami masih punya Pak Dedi, bapak aing,” imbuhnya penuh harap.
Desa Terisolasi yang Terlupakan
Ternyata, video tersebut direkam dengan sengaja agar pemerintah mengetahui kondisi para pelajar dan warga di Blok Empang, Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Daerah ini selama ini terisolasi, dikelilingi oleh empang, dan kerap luput dari perhatian.
Jalan berlumpur itu bukan hanya dilewati oleh siswa SD, tetapi juga oleh pelajar SMP, SMA, dan warga lainnya untuk beraktivitas sehari-hari. Salah satu warga, Supriyanto (40), mengatakan bahwa mereka telah berulang kali mengajukan perbaikan jalan, baik ke pemerintah desa maupun Pemkab Indramayu. Namun hingga kini, belum ada realisasi.
“Memang lokasinya terisolasi dan jauh dari pemukiman umum. Tapi di situ ada masyarakat yang tinggal. Anak-anak harus sekolah, bapak-bapak harus kerja, dan itu satu-satunya akses jalan,” katanya.
Menurut Supriyanto, warga bahkan kerap melakukan perbaikan mandiri dengan dana patungan, mulai dari Rp5 ribu hingga Rp100 ribu per orang. Semua itu dilakukan demi bisa melewati jalan tersebut dengan sedikit lebih layak, apalagi saat musim hujan, kondisi semakin memburuk dan rawan menyebabkan kecelakaan.
“Terakhir pengajuan itu sekitar dua tahun lalu. Tapi tidak ada perhatian sampai sekarang,” pungkasnya.
Feri, Guru Penjaga Asa di Tengah Lumpur
Di tengah kisah pilu para pelajar, sosok Feri, seorang guru di SDN 3 Jayapura, OKU Timur, menjadi simbol semangat dan pengabdian. Setiap pagi pukul enam, saat banyak orang masih menikmati secangkir kopi hangat, Feri sudah memacu sepeda motornya dari rumah di Martapura menuju sekolah sejauh 35 kilometer.
“Kalau musim hujan, jalan jadi lumpur. Mobil-mobil bisa terjebak berhari-hari. Warga sini menyebutnya ‘jalan tauhid’, karena siapa pun yang lewat pasti ingat Allah terus, istighfar sambil dorong kendaraan,” tuturnya sambil tertawa kecil (Jumat 2/5/2025).
Medan yang ia tempuh tak hanya berlumpur, tapi juga berbatu, bergelombang, dan melintasi kebun karet serta ladang jagung. Tak jarang ia mengalami ban pecah, rantai motor putus, hingga kehabisan bensin di tengah hutan. Namun, semua itu tak menyurutkan langkahnya untuk mengajar.
Sejak mengabdi sebagai guru honorer pada 2009 dan resmi menjadi guru tetap pada Agustus 2024, Feri bahkan sering menginap di sekolah untuk menghemat bahan bakar dan menghindari kerusakan motor. Waktu luangnya ia gunakan untuk memberikan les Bahasa Inggris gratis bagi murid-muridnya.
“Anak-anaknya semangat luar biasa. Itu yang bikin saya terus semangat juga,” ungkapnya.
Dari Kangkung hingga Harapan
Selain mengajar, Feri juga mengajarkan kemandirian dan kewirausahaan. Ia menggagas kebun sekolah berukuran 4×5 meter yang ditanami kangkung. Hasil panen dijual ke warga, dan keuntungannya disimpan sebagai kas kewirausahaan sekolah.
“Sayur sangat langka di sini. Kebanyakan warga tanam karet. Kalau mau beli sayur harus ke pasar yang jauh,” katanya.
Kebun itu bukan hanya sumber pemasukan tambahan, tetapi juga sarana edukatif untuk mengenal pertanian dan gaya hidup sehat. Namun di balik semangat dan dedikasi itu, masih banyak keterbatasan—termasuk dua ruang kelas di sekolah yang masih berdinding papan.
“Masih ada dua kelas papan di sekolah kami,” kata Feri lirih, berharap ada perhatian dari pemerintah.
Baginya, menjadi guru bukan sekadar pekerjaan, tapi misi hidup. Harapannya sederhana: perbaikan jalan agar pendidikan dan perekonomian masyarakat dapat meningkat.
“Kalau jalannya baik, anak-anak tidak telat sekolah, ekonomi warga bisa tumbuh. Semua akan lebih baik,” pungkasnya penuh harap.
Satu hal pasti: Di balik lumpur yang membungkus kaki kecil para siswa dan roda motor sang guru, masih tersimpan harapan besar akan masa depan yang lebih layak dan merdeka. (Amelia)
Tinggalkan Balasan