SuaraParlemen.co, Jakarta, 14 Mei 2025 – Wartawan senior Aendra Medita mengungkapkan kisah kedekatannya dengan Bambang Tri Mulyono, penulis kontroversial buku Jokowi Undercover, dalam sebuah video berdurasi 9 menit di akun TikTok @Yossehen. Aendra menyampaikan sejumlah kesaksian mengenai peran Bambang Tri dan isu seputar dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

Dalam video tersebut, Aendra mengaku pernah menyembunyikan Bambang Tri selama enam bulan setelah buku Jokowi Undercover memicu polemik besar.

“Saya bawa Bambang Tri, dia dalam pencarian, saya simpan dia di Kukusan, nggak ada yang tahu. Selama enam bulan saya kontrakkan tempat buat dia. Tapi saya capek juga. Saya kenal dia karena dia jurnalis. Dia pernah di Wawasan, juga pernah jadi wartawan koran Jepang,” ujar Aendra.

Aendra juga membantah isu yang menyebut Bambang Tri sebagai seorang intelijen. Ia menegaskan bahwa sahabatnya itu adalah seorang jurnalis tulen.

Selain itu, Aendra menyampaikan bahwa Bambang Tri merasa dikriminalisasi saat dijerat kasus hukum terkait buku Jokowi Undercover. Menurut Bambang, ia tidak pernah menyebut Presiden Jokowi sebagai anggota PKI—pernyataan tersebut justru berasal dari jurnalis Aiman Witjaksono, yang kemudian digugat Bambang senilai Rp1 triliun.

Isu ijazah palsu Presiden Jokowi pun kembali mencuat dalam kesaksian Aendra. Ia menuturkan bahwa Bambang Tri memiliki bukti kuat, termasuk mengetahui nomor ijazah yang dianggap palsu.

“Satu kalimat, Kang Pian, tembak kepala saya kalau ijazah Jokowi nggak palsu. Karena Bambang Tri ini cerdas, satu nomor palsunya saja dia tahu. Nomor ijazahnya saja tahu, itu dari UGM,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Aendra menyinggung sikap bungkam dari para alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) angkatan 1985 mengenai isu tersebut. Ia menduga ada tekanan dan kepentingan yang membuat mereka memilih diam.

Baca juga :  IKADI Aceh Tengah Sukses Gelar Program I'tikaf 1446 H: Tahun Ketiga di Masjid Raudhatul Jannah, Ratusan Jemaah Ikuti Ibadah dan Kajian, Menekankan Pentingnya Niat dan Rukun I'tikaf

“Angkatan ’85 nggak mau ngomong. Pertama karena takut, kedua ada yang sudah jadi komisaris, ketiga karena sudah merasa aman. Dosa besarnya ada pada orang yang pernah menjabat di Setneg. Dia rektor aktif kala itu, dan dia tahu banyak,” pungkas Aendra. (Amelia)