SuaraParlemen.co, Aceh, 27 Agustus 2025 – Menjadi pemimpin bagi Partai Islam seperti PKS adalah amanah besar bagi seorang kader partai, sebuah titipan yang kelak dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Maka ketika seorang kader terpilih, yang muncul semestinya bukanlah kebanggaan semu, tetapi rasa takut dan harap. Takut jika amanah ini gagal ditunaikan, dan berharap agar Allah memberikan kekuatan untuk menunaikannya dengan benar. Apalagi PKS sebagai Partai Islam terbesar di Indonesia, dimana pada pemilu 2024 PKS memperoleh 8,4 persen atau 12.781.353 dengan kuota 53 kursi di parlemen. PKS

bukan sekadar menjadi penyalur aspirasi rakyat, tapi juga representasi Partai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam.

Kepemimpinan di partai politik jelas bukan pekerjaan ringan. Ia berbeda dari kepemimpinan di organisasi sosial, bisnis, atau birokrasi. Pimpinan Partai diberbagai tingkatan memimpin struktur yang bukan hanya diisi oleh pengurus formal, tapi juga para politisi, pejabat publik, dan kader-kader dengan latar belakang pendidikan dan profesi. Maka diperlukan kepemimpinan yang bukan hanya teknis, tapi juga kebijakan yang bisa merangkul semua pihak. Dibutuhkan komunikasi yang piawai, kecakapan mengelola konflik, daya juang (tidak baper) serta kejelian membaca dinamika. Seperti menarik rambut di dalam tepung, rambutnya tak putus, tepungnya tak berserak.

Dalam hal ini, PKS memiliki modal yang membedakannya dari partai lain: Kader yang militan, Struktur yang solid, budaya kerjasama, Islam sebagai landasan, SDM yang berkualitas serta kemandirian pendanaan (Sunduquna Juyubuna) artinya kas kami adalah kantong-kantong kami sendiri. Artinya PKS bisa mandiri tanpa bergantung sama pihak lain, PKS tidak lahir dari konglomerasi politik sesaat, melainkan tumbuh dari akar gerakan dakwah yang kuat.

Semangat reformasi dan cita-cita perubahan menjadi bagian dari DNA gerakan ini. Nilai-nilainya adalah nilai perjuangan. Orientasinya adalah misi dakwah. Maka politik, bagi PKS, bukan tujuan, melain politik adalah wasilah.

Oleh karena itu, pemimpin PKS harus memahami nilai-nilai perjuangan dakwah para nabi. Dalam sejarah dakwah kenabian, kemenangan tidak selalu instan. Ia butuh kesabaran, ketangguhan, dan jalan panjang penuh ujian. Dalam berbagai kesempatan Ketua Majelis Syuro Dr. Sohibul Iman menyampaikan pemimpin dan mader PKS tidak boleh putus asa dalam meraih kemenangan, tidak boleh menghalalkan segala cara, PKS harus sabar, tekun dan fokus serta konsisten dengan nilai-nikai perjuangannya.

Baca juga :  Dr. Almuzammil Yusuf, Presiden PKS Paket Lengkap : Sarjana Politik Yang Sukses Menjadi Politisi

Tarbiyah: Jalan Menuju Kepemimpinan

Tarbiyah, pendidikan kaderisasi berkelanjutan, adalah jantung dari sistem pengembangan kepemimpinan di PKS. Di sinilah nilai-nilai dasar ditanamkan. Di sinilah karakter dibentuk. Di sinilah integritas dan kompetensi disiapkan. Kepemimpinan dalam tradisi tarbiyah bukan ditentukan oleh ambisi, tetapi oleh kesiapan ruhani, akhlak, dan ilmu. Seorang pemimpin bukan hanya dilahirkan, namun juga bisa dibentuk sesuai dengan potensi yang dianugerahkan oleh Allah Swt, dan proses pembentukannya adalah dari tarbiyah yang berkesinambungan.

Karena itu, dalam setiap pergantian kepemimpinan, PKS tidak melahirkan banyak konflik. Tidak ada “kursi terbang”, tidak ada suap menyuap, tidak ada gugat menggugat sebagaimana sering kita saksikan dalam partai-partai lain. Semua berjalan dalam sistem kaderisasi dan musyawarah yang tertata. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam yang menjadi ruh perjuangan PKS tidak hanya menjadi jargon, tetapi betul-betul terimplementasi dalam manajemen partai.

Model Profetik: Paradigma Kepemimpinan PKS

Dalam khazanah ilmu kepemimpinan, ada banyak pendekatan yang bisa diterapkan. Namun menurut hemat saya, pendekatan yang paling sesuai dengan karakter dan misi PKS adalah kepemimpinan profetik.

Model ini berpijak pada keteladanan para nabi, terutama Nabi Muhammad SAW. Ia menekankan integritas moral, ketulusan, serta kemampuan mempengaruhi dan membimbing umat menuju tujuan mulia. Pilar utamanya adalah:

1. Sidiq – jujur dan lurus hati dalam memimpin

2. Amanah – dapat dipercaya, tidak menyalahgunakan kekuasaan

3. Tabligh – menyampaikan kebenaran tanpa manipulasi

4. Fathonah – cerdas, strategis, dan mampu mengelola kompleksitas zaman

Menurut Budiharto & Himam (2024), kepemimpinan profetik adalah ekspresi dari ilmu sosial profetik yang diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Sebuah pendekatan yang tidak hanya menjelaskan realitas sosial, tapi juga memberikan arah transformasi berdasarkan nilai-nilai wahyu. Kepemimpinan ini tidak cukup hanya menjawab pertanyaan bagaimana, tetapi juga untuk apa dan menuju ke mana.

Baca juga :  Fahrul Ilmi Wujudkan Penerangan Jalan di RT 20 Simpang Rimbo: Beri Manfaat dan Rasa Aman Warga

Prof. Kuntowijoyo sendiri merumuskan tiga dimensi utama dari misi profetik berdasarkan QS Ali Imran ayat 110, sebagai berikut :

كُنْتُمْ خَيْرَ اُمَّةٍ اُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ ۗ وَلَوْ اٰمَنَ اَهْلُ الْكِتٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۗ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمُ الْفٰسِقُوْنَ

Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Seandainya Ahlulkitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.

Amar Ma’ruf → Humanisasi

Pemimpin profetik harus memanusiakan manusia. Ia membangun kepemimpinan yang berempati, yang menghadirkan rasa hormat terhadap martabat setiap individu.

Nahi Munkar → Liberasi

Ia juga membebaskan masyarakat dari penindasan, manipulasi, dan ketidakadilan. Kepemimpinan bukan alat kekuasaan, melainkan instrumen pembebasan.

Tu’minuna Billah → Transendensi

Pemimpin profetik menjadikan spiritualitas sebagai poros. Ia sadar bahwa kekuasaan bukan miliknya, melainkan amanah dari Allah. Setiap kebijakan ditimbang dengan takaran ridha-Nya.

Dengan kerangka ini, kepemimpinan dalam PKS tidak hanya menjadi ruang teknokratis atau administratif, melainkan juga jalan spiritual, sosial, dan historis.

Collective Genius dan Mudawalah: Warisan Musyawarah. 

Dalam tradisi kepemimpinan PKS, musyawarah bukan sekadar forum formalitas. Ia adalah jantung pengambilan keputusan. Sebagaimana ditegaskan oleh Almuzzammil Yusuf, Presiden PKS saat ini, bahwa setiap rapat pleno adalah “komitmen untuk merawat collective genius”, yakni kecerdasan kolektif yang muncul dari interaksi sehat antar kader.

Konsep ini sejalan dengan gagasan Linda A. Hill dalam bukunya Collective Genius: The Art and Practice of Leading Innovation. Setiap anggota organisasi menyimpan potongan kejeniusan (a slice of genius) yang harus dibebaskan oleh pemimpinnya. Tugas pemimpin bukan menjadi sumber tunggal ide, tapi fasilitator ruang kreatif yang membebaskan potensi kader.

Baca juga :  Erni Ariyanti Diambil Sumpah Jabatan, Resmi jadi Pimpinan DPRD Sumut Periode 2024-2029

Inilah yang dalam istilah Ust. Hilmi Aminuddin disebut dengan mudawalah, saling mengunyah gagasan hingga terasa renyah. Di PKS, tidak ada tabu dalam musyawarah. Setiap suara dihargai, setiap usul dimatangkan bersama. Kepemimpinan bukanlah dominasi, tapi fasilitasi. Hasil musyawarah yang lahir dari mudawalah dan collective genius akan lebih kokoh dan berpijak pada kebersamaan, dan ini semua merupakan sunnah hasanah yang sudah dipraktekkan Rasulullah SAW dalam memimpin ummat.

Penutup: Ikhtiar Profetik, Amanah Historis

Memimpin partai Islam seperti PKS adalah tugas mulia sekaligus jalan menuju kebahagiaan dan kebermaknaan hidup, karena ada nilai perjuangan dakwah. Di satu sisi, ia adalah jalan strategis untuk menghadirkan nilai-nilai Islam dalam ruang publik

Maka para pemimpin PKS di seluruh Indonesia harus menyadari bahwa jabatan mereka bukanlah sekadar amanah struktural. Ia adalah amanah profetik, yang menuntut kejujuran, keteladanan, kecerdasan spiritual dan sosial. Mereka adalah pewaris nilai, bukan sekadar pelaksana tugas.

Sebagaimana ditekankan oleh Ketua Majelis Syuro Dr. M.Sohibul Iman bahwa dua kapasitas utama yang harus terus dibangun dalam konteks kepemimpinan adalah _capacity to win_ dan_ capacity to govern._

PKS tidak hanya membina kader untuk menang dalam kontestasi, namun juga menyiapkan mereka agar mampu memimpin dengan visi dan integritas. Dalam platform kepemimpinan PKS, kemenangan politik tidak pernah boleh melepaskan diri dari akar nilai dan fondasi moral.

Pemimpin PKS bukanya hanya mencintai hasilnya tetapi dalam proses perjuangannya pun mereka sudah meraih kebahagiaan dan kemenangan

Dan bagi para pimpinan dan pengurus serta kader , mari terus menjaga orientasi perjuangan ini. Mari kita kuatkan tarbiyah, perkuat musyawarah, dan terus tingkatkan kemampuan diri agar langkah kita tetap dalam rel kenabian. Agar kemenangan politik menjadi pintu masuk bagi hadirnya rahmat Allah di negeri ini. (Kjp)

By: Muhammad Iqbal, Ph.D Psikolog

Ketua DPP PKS Bidang Pelatihan & Pengembangan Kepemimpinan Partai