SuaraParlemen.co, Muaro Jambi – Pada 14 Agustus 2025 ini, Gerakan Pramuka genap berusia 64 tahun. Sebuah perjalanan panjang yang dimulai dari semangat mempersatukan berbagai organisasi kepanduan di tahun 1961, kini menjelma menjadi salah satu pilar pembentuk karakter bangsa. Tema tahun ini, “Kolaborasi untuk Membangun Ketahanan Bangsa”, bukan sekadar semboyan yang terpasang di spanduk dan baliho perayaan, tetapi sebuah ajakan yang dalam: bahwa kekuatan bangsa hanya akan terwujud bila setiap unsur mau berjalan bersama, saling menopang, dan bergandengan tangan menatap masa depan.

Di tengah arus perubahan dunia yang begitu cepat, Pramuka tidak boleh terjebak dalam romantisme masa lalu. Globalisasi, krisis iklim, tantangan digitalisasi, serta potensi perpecahan sosial menjadi ujian nyata. Pramuka hari ini dituntut bukan hanya menjadi wadah penggalian keterampilan tali-temali atau baris-berbaris, tetapi menjadi ruang kolaborasi lintas sektor: merangkul sekolah, pemerintah, komunitas lokal, sektor swasta, hingga jejaring digital yang menyatukan anak muda dari Sabang sampai Merauke. Di bumi perkemahan maupun ruang virtual, Pramuka harus hadir sebagai jembatan yang menghubungkan nilai tradisi dengan inovasi zaman.

Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Sejak Pramuka tidak lagi diwajibkan sebagai ekstrakurikuler, semangat sebagian sekolah mulai memudar, kegiatan di beberapa daerah lesu karena keterbatasan dukungan dan dana. Inilah tantangan yang harus dihadapi dengan sikap terbuka dan kreatif. Pramuka harus mampu menunjukkan bahwa kehadirannya relevan, bukan karena kewajiban administratif, tetapi karena manfaatnya yang nyata bagi pembentukan generasi tangguh—generasi yang peduli lingkungan, cakap digital, berjiwa wirausaha, dan memiliki keberanian moral untuk membela kebenaran.

Bayangkan bila semangat gotong-royong yang menjadi napas Pramuka dipadukan dengan kekuatan teknologi digital; bila nilai Dasa Darma menjadi pedoman perilaku di ruang nyata maupun maya; bila setiap Satuan Karya menjadi pusat aksi tematik yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung. Saka Wanabakti yang menggerakkan ribuan penanaman pohon di seluruh daerah rawan bencana; Saka Pariwisata yang melatih generasi muda menjaga dan mempromosikan kekayaan budaya lokal; atau Saka Millenial yang membekali anggota dengan literasi digital dan keterampilan teknologi terkini. Semua itu adalah wujud kolaborasi yang bukan hanya menguatkan barisan Pramuka, tetapi juga menebalkan ketahanan bangsa dari akar hingga pucuknya.

Baca juga :  Polemik Mutasi dr Piprim B Yanuarso: Antara Rotasi dan Dugaan Intervensi Kemenkes

Pramuka juga memiliki peran strategis dalam menjaga persatuan di tengah keberagaman. Dalam perkemahan, tidak ada sekat agama, suku, atau status sosial; semua setara di bawah bendera Merah Putih dan janji Tri Satya. Inilah model kecil Indonesia yang kita impikan—negara yang rukun, saling menghargai, dan bekerja sama tanpa prasangka. Semangat ini perlu dibawa keluar lapangan upacara dan merasuk ke ruang-ruang kehidupan nyata, agar gotong-royong menjadi karakter kolektif bangsa, bukan sekadar jargon sejarah.

Hari Pramuka ke-64 ini seharusnya menjadi momentum refleksi: apakah kita hanya ingin merayakan usia, atau menjadikannya titik awal lompatan baru? Indonesia membutuhkan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat dalam karakter, gigih dalam menghadapi tantangan, dan lembut dalam kepedulian sosial. Di sinilah Pramuka harus menempatkan dirinya—sebagai kawah candradimuka pembentuk pribadi yang utuh, yang siap berdiri di garda terdepan menghadapi perubahan zaman tanpa kehilangan jati diri kebangsaan.

Dirgahayu Pramuka! Mari kita wujudkan kolaborasi yang sesungguhnya—bukan sekadar kata-kata, tetapi aksi nyata yang membangun ketahanan bangsa. Karena di balik setiap tunas kelapa yang tumbuh, ada harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih kokoh, bersatu, dan berdaulat.

 

*****