SuaraParlemen.co, Jakarta – Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Aceh, Ghufran Zainal Abidin, angkat bicara terkait polemik berpindahnya empat pulau yang selama ini menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Ghufran menegaskan bahwa persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Ia menyebut, hal ini menyangkut kedaulatan administratif dan harga diri Aceh yang harus diperjuangkan secara serius di tingkat nasional.
“Ini bukan sekadar persoalan teknis, tapi menyangkut harga diri dan batas wilayah Aceh. Kami akan membawa persoalan ini ke DPR agar ada peninjauan ulang atas keputusan tersebut,” tegas Ghufran, Senin (26/5/2025).
Empat pulau yang dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, yang kini tercatat sebagai wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Status tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025. Kepmendagri ini menjadi sorotan publik setelah beredar luas di media sosial.
Pemerintah Aceh Tegaskan Komitmen Perjuangkan Wilayah
Pemerintah Aceh, di bawah kepemimpinan Gubernur Muzakir Manaf dan Wakil Gubernur Fadhlullah, menyatakan komitmen kuat untuk memperjuangkan agar keempat pulau tersebut kembali menjadi bagian dari Aceh.
Syakir, Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Aceh, menjelaskan bahwa proses perubahan status pulau-pulau tersebut telah dimulai sebelum tahun 2022, jauh sebelum kepemimpinan Gubernur Muzakir. Meski demikian, ia menegaskan bahwa Pemerintah Aceh tetap akan mengupayakan peninjauan ulang keputusan tersebut.
“Sesuai dengan komitmen Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur, Pemerintah Aceh akan terus memperjuangkan agar keempat pulau itu dikembalikan sebagai bagian dari wilayah Aceh,” ujar Syakir, Minggu (25/5/2025).
Syakir juga menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh telah menyerahkan berbagai bukti otentik kepada Kementerian Dalam Negeri, termasuk dokumen kepemilikan, peta batas laut, serta infrastruktur yang dibangun oleh Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Singkil.
“Di Pulau Panjang, misalnya, terdapat tugu selamat datang, mushala, dermaga, dan rumah singgah yang dibangun oleh Pemerintah Aceh. Bahkan ada peta kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut yang disaksikan oleh Mendagri pada tahun 1992,” tambahnya.
Bukti lain juga diperkuat dengan surat kepemilikan tanah dari tahun 1965, dokumen pengelolaan pulau, serta prasasti di Pulau Mangkir Ketek yang menyebut bahwa pulau itu merupakan bagian dari Aceh. Prasasti tersebut dibangun pada tahun 2018, berdampingan dengan tugu yang telah ada sejak 2008.
Rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga yang difasilitasi oleh Kemenko Polhukam pada tahun 2022 juga menyimpulkan bahwa berdasarkan dokumen, pemetaan, dan layanan publik, keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah Aceh.
Dukungan DPR dan Langkah Selanjutnya
Dengan sederet bukti tersebut, baik Pemerintah Aceh maupun para wakil rakyat di Senayan—seperti Ghufran Zainal Abidin—bertekad untuk terus mendorong langkah hukum dan administratif demi mengembalikan status keempat pulau tersebut sebagai bagian sah dari Provinsi Aceh.
“Kami tidak akan tinggal diam. Ini perjuangan yang menyangkut kehormatan daerah dan harus dikawal hingga tuntas,” tutup Ghufran. (Kjp)
Tinggalkan Balasan