SuaraParlemen.co, Jakarta – Komisi II DPR RI menggelar rapat dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada Senin (3/2/2025) untuk meminta penjelasan terkait rencana pengunduran jadwal pelantikan kepala daerah yang semula dijadwalkan pada 6 dan 10 Februari, menjadi 18-20 Februari 2025.
Anggota Komisi II DPR, Mohammad Toha, menilai keputusan tersebut menyalahi aturan karena diambil tanpa melibatkan Komisi II DPR RI sebagai mitra kerja yang berwenang dalam urusan kepemiluan.
Keputusan Sepihak Kemendagri?
Menurut Toha, pengunduran jadwal ini bertentangan dengan keputusan rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang telah digelar pada 22 Januari 2025. Dalam RDPU tersebut, Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP telah menyepakati bahwa pelantikan 296 kepala daerah terpilih hasil Pilkada Serentak 2024 yang tidak bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) akan dilakukan pada 6 Februari 2025 di Ibu Kota Negara oleh Presiden.
“Keputusan ini dibuat tanpa membahasnya terlebih dahulu dengan Komisi II DPR. Padahal, semua kebijakan terkait kepemiluan harus melibatkan DPR RI dan mitra kerja terkait,” kata Toha dalam keterangan persnya.
Ia menambahkan bahwa perubahan jadwal ini juga bertentangan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 80 Tahun 2024, yang telah mengatur bahwa pelantikan gubernur dan wakil gubernur hasil Pilkada Serentak 2024 dilaksanakan serentak pada 7 Februari 2025, sedangkan pelantikan bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dilakukan serentak pada 10 Februari 2025.
Taat atau Abaikan Putusan MK?
Salah satu alasan yang dikemukakan Kemendagri untuk menunda pelantikan adalah menunggu hasil penyelesaian sengketa di MK. MK sendiri dijadwalkan akan membacakan putusan dismissal untuk 310 perkara sengketa hasil Pilkada Serentak 2024 pada 4 dan 5 Februari 2025.
Namun, Toha menilai bahwa keputusan RDPU sebelumnya sudah mempertimbangkan Putusan MK No.27/PUU-XXII/2024, yang menyatakan bahwa pelantikan kepala daerah dilakukan serentak setelah MK menyelesaikan perkara yang tidak dapat diterima dan ditolak. Hanya daerah-daerah yang harus melakukan pemungutan suara ulang (PSU) atau perhitungan suara ulang yang akan mengalami penundaan pelantikan.
“Fraksi PKB sebelumnya meminta agar RDPU patuh terhadap putusan MK, meskipun keputusan terkait pemilu atau pilkada bersifat open legal policy. Tapi, saat RDPU menyepakati pelantikan bertahap mulai 6 Februari, kami menerimanya. Sekarang Kemendagri justru mengundurkan lagi jadwal tanpa koordinasi,” ujarnya.
Usulan Pelantikan Bertahap
Toha juga menyoroti daerah-daerah yang harus menggelar Pilkada ulang akibat kalah dari kotak kosong atau harus melaksanakan PSU berdasarkan putusan MK. Menurutnya, perlu ada kebijakan untuk menyesuaikan keserentakan pelantikan tahap kedua, agar tidak mengganggu jadwal Pilkada Serentak Nasional di masa mendatang.
Ia mengusulkan agar kepala daerah yang dilantik pada tahap kedua nantinya tetap bisa mengikuti Pilkada serentak berikutnya pada 2029 bersama kepala daerah yang dilantik pada tahap pertama.
“Usulan ini dimaksudkan agar tidak mengacaukan keserentakan Pilkada Nasional yang telah dirancang dalam lima gelombang, yaitu 2015, 2017, 2018, 2020, dan 2024,” jelasnya.
Komisi II DPR menegaskan bahwa mereka akan meminta penjelasan lengkap dari Mendagri terkait alasan penundaan pelantikan kepala daerah ini. Keputusan ini dinilai memiliki dampak besar, baik terhadap efektivitas pemerintahan daerah maupun kepatuhan terhadap aturan hukum yang berlaku.
Rapat antara Komisi II DPR dan Mendagri akan menjadi momentum penting untuk memastikan bahwa pelantikan kepala daerah berjalan sesuai jadwal dan tidak melanggar prinsip demokrasi serta aturan hukum yang telah disepakati.
Tinggalkan Balasan