SuaraParlemen.co, Jakarta, 10 Februari 2025 – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi memasuki masa persidangan kedua periode 2024-2025 sejak 21 Januari 2025. Usai masa reses, sejumlah kebijakan dan manuver DPR menuai polemik di kalangan publik.

Pembahasan Mendadak RUU Minerba

Sehari sebelum masa persidangan dimulai, Badan Legislasi (Baleg) DPR secara tiba-tiba membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba). Pembahasan ini menjadi sorotan karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan dinilai mendadak.

Berdasarkan agenda, Baleg DPR menggelar rapat pleno, rapat panitia kerja (panja), serta rapat pengambilan keputusan terkait RUU Minerba dalam satu hari penuh. Beberapa anggota Baleg mengeluhkan keterbatasan waktu, termasuk anggota DPR dari Fraksi PDIP, Putra Nababan, yang mengaku baru menerima naskah akademik setebal 78 halaman hanya 30 menit sebelum rapat dimulai.

“Kayanya tak mungkin kita bikin UU tanpa membaca naskah akademik. Lalu dikirim 30 menit sebelumnya, panjangnya 78 halaman. Mohon izin, saya belum sempat baca,” ujar Putra dalam rapat pleno di Gedung DPR, Senin, 20 Januari 2025.

Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa pembahasan ini bersifat mendesak karena dua alasan. Pertama, perlu ada penyesuaian aturan dalam undang-undang sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 37/PUU-XIX/2021. Kedua, diperlukan aturan baru untuk mempercepat hilirisasi pertambangan.

“Kedua, perlunya diundangkan prioritas bagi ormas keagamaan untuk mengolah pertambangan, demikian juga dengan perguruan tinggi, dan usaha kecil dan menengah,” ujar Bob.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menambahkan bahwa pimpinan DPR telah menerima beberapa pengajuan pembahasan RUU dari alat kelengkapan dewan sejak sebelum masa reses. Bahkan, beberapa anggota DPR sudah mulai berkantor lebih awal guna menyiapkan revisi aturan.

Baca juga :  Siti Fauziah Terpilih sebagai Ketua Korpri Setjen MPR RI 2025-2030

Polemik Revisi Tata Tertib DPR

Selain RUU Minerba, revisi Tata Tertib DPR juga menjadi sorotan. Salah satu perubahan yang disorot adalah penambahan Pasal 228A, yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah melewati uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Pejabat yang dimaksud termasuk calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), calon Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), hingga calon Kepala Kepolisian RI (Kapolri).

Pasal 228A ayat (1) berbunyi: “Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.”

Sementara itu, ayat (2) menyatakan: “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR RI untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”

Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menilai revisi Tata Tertib DPR ini bersifat inkonstitusional karena memberikan kewenangan baru kepada DPR untuk mengevaluasi dan berpotensi mencopot pejabat negara yang telah lulus uji kelayakan.

“Hasil revisi Tata Tertib DPR yang memberi kewenangan baru bagi DPR untuk bisa mencopot hakim MK, hakim MA, dan komisioner KPK adalah inkonstitusional,” kata anggota GNB, Lukman Hakim Saifuddin, dalam pernyataan tertulis pada Rabu, 5 Februari 2025.

Menanggapi polemik tersebut, Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menegaskan bahwa evaluasi berkala tidak berarti DPR memiliki kewenangan untuk langsung mencopot pejabat negara.

“Bukan mencopot. Ya, pada akhirnya pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot,” kata Bob dalam rapat pleno di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

Baca juga :  Wakil Ketua DPRK Aceh Tengah Susilawati Siap Jadi Pemeran Utama dalam Pembuatan Film Dokumenter "Tanah Air Beta"

Dengan berbagai kontroversi yang muncul dalam masa persidangan kedua ini, publik terus mencermati langkah-langkah DPR dalam menyusun dan merevisi undang-undang yang berdampak luas bagi tata kelola negara. (Amel)