SuaraParlemen.co, Jambi, 08 Oktober 2025 – Di tengah bayang-bayang ketidakpastian global, perekonomian Indonesia masih menunjukkan daya tahannya. Pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan II 2025 tercatat 5,12 persen (yoy), naik dari 4,87 persen pada triwulan I. Inflasi pun tetap terkendali di kisaran sasaran Bank Indonesia, dengan catatan pada Agustus 2025 berada di level 2,51 persen (yoy). Untuk daerah, Provinsi Jambi mencatat inflasi tahunan sebesar 2,76 persen, menempatkan provinsi ini pada peringkat 13 nasional dan peringkat 6 di Sumatera. Tekanan harga pangan bergejolak (volatile food) masih menjadi penentu utama, meski peluang deflasi musiman terbuka lebar seiring panen hortikultura.
Pada Agustus 2025, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 5,00%, turun 25 basis poin dari suku bunga sebelumnya. Langkah ini dianggap sebagai salah satu upaya Bank Indonesia untuk merespons ketidakpastian ekonomi global. Kebijakan ini bertujuan untuk mendukung stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi, yang saat ini mulai menghadapi tekanan akibat perluasan tarif timbal balik oleh Amerika Serikat terhadap 70 negara. Sementara itu, cadangan devisa nasional tetap kuat, tercatat sebesar USD 150,7 miliar atau setara dengan 6 bulan impor.
Ekonomi negara Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada Q2 (YoY), meningkat dari 4,87% pada Q1 didorong oleh ekspor dan permintaan domestik. Namun, proyeksi untuk Q3 akan lebih moderat dalam kisaran pertumbuhan 4,6%-5% mengingat melemahnya kondisi perdagangan global dan risiko inflasi impor. Oleh karena itu, penerapan kebijakan fiskal dan moneter yang proporsional diperlukan sebagai kunci untuk mempertahankan momentum pertumbuhan di tengah tekanan global.
Bagi Provinsi Jambi, dinamika ekonomi dan pasar global menghadirkan tantangan tersendiri. Tingkat inflasi di Jambi hingga Agustus 2025 tercatat sebesar 2,76% (YoY), yang sedikit mengimbangi tingkat inflasi nasional. Jambi menempati peringkat ke-13 secara nasional dan ke-6 di Sumatra dalam hal inflasi, dengan pendorong utama berasal dari kelompok makanan yang fluktuatif (VF), khususnya cabai merah, bawang merah, dan kentang. Sementara itu, komoditas seperti ayam broiler, jengkol, dan tomat telah membantu menekan inflasi. Polanya musiman menunjukkan bahwa Jambi biasanya mengalami deflasi pada Q3 akibat panen hortikultura, terutama cabai merah dan bawang merah yang memberikan kelonggaran dari tekanan harga pangan.
Namun, stabilitas harga pangan tidak dapat sepenuhnya bergantung pada pola panen musiman. Tantangan dalam distribusi antardaerah, praktik perdagangan yang tidak efisien, dan ketergantungan pada komoditas tertentu membuat inflasi pangan di Jambi rentan terhadap fluktuasi. Bank Indonesia (BI) bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dan pemerintah provinsi secara agresif menerapkan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) melalui operasi pasar sambil memperkuat perusahaan milik daerah dan koperasi, serta kerja sama antardaerah untuk merespons inflasi yang sedang berlangsung. Hal ini sangat penting karena konsumsi pangan berkontribusi hingga 74,15% dari garis kemiskinan nasional, sehingga stabilitas harga pangan menjadi faktor penentu kesejahteraan komunitas berpenghasilan rendah.
Kebijakan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan dapat dianggap sebagai tindakan yang tepat. Pelaksanaan kebijakan ini konsisten dengan perkiraan inflasi rendah untuk periode 2025-2026, stabilitas nilai tukar, dan kebutuhan untuk mendukung pertumbuhan. Namun, bagi wilayah seperti Jambi, tantangan nyata tetap ada dalam volatilitas harga pangan dan efisiensi distribusi; sinergi antara kebijakan moneter di tingkat pusat dan pengendalian inflasi di tingkat regional harus terus diperkuat agar stabilitas makroekonomi dapat diubah menjadi kesejahteraan mikro bagi masyarakat lokal.
Melalui Forum Diskusi Kelompok Terfokus akademisi (FGD) yang diselenggarakan oleh Departemen Komunikasi Bank Indonesia sebagai bagian dari Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bank Indonesia (RDGB) September 2025, keterlibatan akademisi penting untuk memberikan masukan berbasis ilmu pengetahuan terkait sikap kebijakan BI. Akademisi membantu menjelaskan dinamika kebijakan moneter dan dampaknya bagi masyarakat luas sehingga BI dapat mempertahankan transparansi kebijakan secara akurat dan meningkatkan kepercayaan publik.
Kolaborasi antara Bank Indonesia dan kalangan akademisi mencerminkan kesadaran bahwa stabilitas ekonomi tidak hanya dibangun melalui instrumen moneter, tetapi juga melalui pengetahuan dan kepercayaan publik. Akademisi berfungsi sebagai mitra kritis yang memperkuat proses perumusan kebijakan dan memperluas jangkauan komunikasi BI kepada masyarakat.
Ke depan, peran perguruan tinggi di daerah seperti Jambi dapat diarahkan menjadi laboratorium kebijakan ekonomi daerah — tempat riset akademik, inovasi digital, dan kebijakan moneter berpadu untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan sinergi antara ilmu dan kebijakan, Bank Indonesia tidak hanya menjaga stabilitas makroekonomi nasional, tetapi juga memastikan manfaatnya terasa hingga ke akar ekonomi rakyat di daerah.
Oleh : Dr. Arniwita,Sy, S.Pd, MM, Dosen UM Jambi (Universitas Muhammadiyah Jambi).
Tinggalkan Balasan