SuaraParlemen.co, Jambi, 20 September 2025 – Dalam ranah arsitektur, sebuah bangunan tidak cukup dinilai dari megahnya fisik atau besarnya anggaran yang digelontorkan. Arsitektur sejati adalah yang mampu merefleksikan identitas komunitas, sekaligus menjadi ruang hidup yang bermakna dalam konteks sosial dan budaya.

Islamic Center Jambi, sebuah proyek besar dengan anggaran sekitar Rp150 miliar ditambah Rp13 miliar, kini menjadi sorotan publik. Tingginya ekspektasi masyarakat—yang wajar karena menggunakan dana publik—belum sepenuhnya terjawab oleh hasil yang ada. Kritik dan kekecewaan pun bermunculan, bahkan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Namun, permasalahan ini tidak sesederhana soal kegagalan fisik atau administratif. Sebagai akademisi dan praktisi arsitektur, saya percaya bahwa kita belum gagal. Kita justru berada pada titik penting untuk meredefinisi ulang peran bangunan ini: bukan sekadar monumen, melainkan sebagai pusat peradaban yang menghidupkan kembali ruh Melayu-Islam di Jambi.

Menata Ulang Fungsi Islamic Center: Dari Monumen ke Pusat Peradaban

Islamic Center sejatinya bukan hanya masjid monumental, tetapi pusat peradaban yang berpijak pada akar budaya Melayu Jambi. Namun, saat ini ia berdiri nyaris terisolasi, tidak terkoneksi dengan elemen lain di kawasan Eks Arena MTQ, seperti rumah adat, taman rekreasi, dan ruang interaksi publik.

Padahal, menurut Kevin Lynch dalam The Image of the City (1960), sebuah kota yang kuat adalah kota dengan ruang-ruang yang dikenali, dimaknai, dan dirasakan bersama oleh warganya.

Dengan perspektif ini, Islamic Center Jambi perlu ditempatkan sebagai jantung spiritual dan budaya yang memompa kehidupan ke seluruh kawasan Eks Arena MTQ. Integrasi yang dibangun bukan sekadar penghubung fisik, melainkan juga koneksi narasi dan fungsi yang saling menguatkan.

Baca juga :  Nabil Minta Inspektorat Perkuat Pengawasan, Soroti Kasus DLH

Bayangkan Islamic Center menjadi:

  • Pusat kajian Islam inklusif, ruang diskusi lintas mazhab, dan pengembangan literasi Qur’an.
  • Tempat pelatihan dakwah berbasis digital, serta ruang diplomasi kebudayaan Islam Melayu yang moderat.
  • Rumah adat yang direvitalisasi sebagai galeri budaya, pusat pelatihan seni tradisional, dan marketplace halal lokal.
  • Ruang terbuka hijau dan taman kota yang hidup dengan aktivitas seni Islami, edukasi anak muda, hingga kewirausahaan.

Belajar dari Inspirasi Daerah Lain

Beberapa contoh bisa dijadikan inspirasi:

  • Masjid Raya Sumatera Barat, Padang: bukan hanya tempat ibadah, tapi pusat budaya Minangkabau modern yang menggabungkan tradisi dan Islam kontemporer.
  • Alun-Alun Serang, Banten: kawasan Islamic Center terintegrasi dengan taman literasi, ruang komunitas, dan etalase UMKM.
  • Anjungan Daerah di TMII: rumah adat difungsikan sebagai pusat edukasi dan diplomasi budaya berbasis digital.

Contoh-contoh ini membuktikan bahwa keberhasilan ruang publik tidak hanya bergantung pada keindahan fisik, tetapi juga pada kejelasan visi serta keberanian mengintegrasikan fungsi dan makna.

Mengintegrasikan Ruang untuk Peradaban Melayu Jambi yang Hidup

Jeremy Till dalam Architecture Depends (2009) menegaskan bahwa keberhasilan arsitektur tidak hanya terletak pada desain, tetapi juga pada kemampuannya menjawab kebutuhan sosial dan politik masyarakat. Pertanyaannya bukanlah “apakah Islamic Center ini layak?”, melainkan “apakah kita menyiapkan manajemen ruang dan program yang mampu menjadikannya hidup dan bermakna?”

Untuk itu, dibutuhkan kelembagaan yang profesional dengan model Public-Private-People Partnership, melibatkan:

  • Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota,
  • Pelaku usaha,
  • Komunitas budaya dan keagamaan.

Model ini akan memastikan kawasan Eks Arena MTQ dan Islamic Center berkembang sebagai ruang publik yang dinamis, terbuka, dan inklusif.

Kawasan ini seharusnya menjadi platform peradaban: tempat belajar, berkarya, berinteraksi, dan berinovasi dengan membumikan nilai-nilai religius sekaligus budaya Melayu. Dengan langkah ini, narasi negatif yang menyertai pembangunan Islamic Center bisa bergeser menjadi optimisme kolektif.

Baca juga :  Meningkatnya Kasus Pelecehan Anak di Sikka, Kepala Dinas Kesehatan Usulkan Lokalisasi

Penutup: Islamic Center sebagai Investasi Sosial-Budaya

Islamic Center Jambi adalah investasi sosial-budaya dengan nilai luar biasa. Jika mampu dimanfaatkan dan dikelola dengan tepat, ia tidak hanya akan menjadi ikon kebanggaan Jambi secara fisik, tetapi juga pusat peradaban Islam Melayu yang hidup, inklusif, inovatif, dan relevan bagi generasi masa depan.

Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM. 

Daftar Pustaka

Gehl, J. (2010). Cities for People. Washington, DC: Island Press.

Lynch, K. (1960). The Image of the City. MIT Press.

Till, J. (2009). Architecture Depends. MIT Press.

Said, E. W. (1993). Culture and Imperialism. New York: Alfred A. Knopf.

Foucault, M. (1986). “Of Other Spaces: Utopias and Heterotopias.” Diacritics, 16(1), 22-27.

Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. (2022). Masterplan Masjid Raya Sumbar.

Pemerintah Kota Serang. (2021). Integrasi Alun-Alun dan Islamic Center Banten.

Laporan Pengelolaan TMII. (2023). Anjungan Budaya dan Digitalisasi Sejarah Daerah.