SuaraParlemen.co, Jakarta, 20 September 2025 – Industri konstruksi di Provinsi Jambi, sebagaimana di banyak wilayah lain di Indonesia, kini menghadapi tantangan besar untuk mentransformasi cara kerja yang selama ini konvensional menuju ekosistem digital yang adaptif dan efisien. Kompleksitas proyek yang semakin tinggi, tuntutan efisiensi anggaran, keterbatasan waktu pelaksanaan, serta tekanan atas jaminan mutu menjadikan inovasi teknologi bukan lagi kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak. Dalam konteks ini, teknologi Building Information Modeling (BIM) dan Artificial Intelligence (AI) hadir sebagai dua instrumen kunci yang harus segera diadopsi secara sistemik.
Secara mendasar, Building Information Modeling (BIM) bukan sekadar alat visualisasi 3D, tetapi sebuah pendekatan sistemik dan terpadu dalam perencanaan, perancangan, pembangunan, dan pengelolaan proyek konstruksi. BIM membangun representasi digital dari karakteristik fisik dan fungsional suatu bangunan atau infrastruktur, yang mencakup data teknis, informasi material, metode konstruksi, urutan pekerjaan, hingga estimasi biaya dan pemeliharaan aset (Azhar, 2011). Dengan kata lain, BIM memungkinkan seluruh siklus hidup bangunan—dari ide awal hingga fase operasional—dikelola dalam satu ekosistem digital yang terintegrasi dan dapat diakses oleh semua pemangku kepentingan proyek.
Manfaat utama BIM tidak hanya terletak pada visualisasi 3D yang realistis, tetapi juga dalam kemampuannya menganalisis konflik desain (clash detection), menghitung volume pekerjaan secara otomatis (quantity take-off), menyusun jadwal konstruksi (4D scheduling), hingga simulasi biaya proyek secara dinamis (5D modeling). BIM mampu mendeteksi potensi tabrakan antara elemen struktural dan MEP (mechanical, electrical, plumbing) bahkan sebelum konstruksi dimulai. Hal ini secara langsung mengurangi revisi lapangan, menghindari keterlambatan proyek, dan meminimalkan pemborosan anggaran (Succar, 2025).
Implementasi BIM secara global menunjukkan hasil efisiensi yang sangat signifikan. Studi oleh Dodge Data & Analytics (2021) mencatat bahwa proyek konstruksi yang mengadopsi BIM secara menyeluruh mengalami penghematan biaya hingga 15–20% dan pengurangan waktu pelaksanaan proyek sebesar 10–30%. Selain itu, 62% dari pelaku industri yang disurvei menyatakan bahwa BIM membantu mereka mengidentifikasi masalah sebelum pekerjaan dimulai di lapangan, sehingga menghindari cost overrun dan time delay yang kerap terjadi dalam proyek konvensional.
Di Indonesia sendiri, penerapan BIM dalam proyek LRT Jabodebek, Jembatan Youtefa di Papua, hingga renovasi Kompleks Gelora Bung Karno terbukti mampu meningkatkan efisiensi koordinasi antar-disiplin dan mengurangi potensi konflik pelaksanaan. Pada proyek Jembatan Youtefa misalnya, BIM membantu tim desain dan pelaksana mengantisipasi lebih dari 200 potensi clash antarstruktur dan instalasi, yang jika tidak dideteksi sejak dini bisa menyebabkan keterlambatan signifikan (Kementerian PUPR, 2020).
Sementara itu, Artificial Intelligence (AI) bekerja dengan menganalisis ribuan data proyek—baik data historis maupun real-time—untuk memberikan rekomendasi atau keputusan yang relevan dalam mendukung keberhasilan proyek. Teknologi ini memungkinkan sistem untuk memprediksi potensi risiko keterlambatan, pembengkakan biaya, atau masalah keselamatan kerja dengan tingkat akurasi yang semakin tinggi dari waktu ke waktu.
Salah satu penerapan AI yang cukup sukses ditunjukkan oleh startup konstruksi global Buildots, yang mengintegrasikan AI dengan kamera helm pekerja untuk memonitor progres konstruksi secara real-time dan membandingkannya dengan rencana kerja digital. Dalam beberapa proyek komersial di Eropa dan Timur Tengah, pendekatan ini memangkas waktu pemantauan hingga 50% dan meningkatkan ketepatan eksekusi lapangan secara drastis (Buildots, 2023).
AI juga dapat menganalisis dokumentasi visual dari lapangan—melalui CCTV, drone, maupun dokumentasi harian—untuk mendeteksi kesalahan pelaksanaan atau cacat mutu secara otomatis. Ini sangat membantu tim pengawas untuk mengidentifikasi deformasi struktural, kesalahan sambungan baja, atau ketidaksesuaian dimensi yang selama ini memerlukan pemeriksaan manual yang memakan waktu dan tenaga.
AI juga semakin dilirik dalam simulasi estimasi biaya dan jadwal. Dalam proyek infrastruktur besar seperti tol Balikpapan–Samarinda, penggunaan teknologi berbasis AI untuk predictive scheduling membantu manajemen proyek menyesuaikan strategi pelaksanaan ketika menghadapi cuaca ekstrem dan gangguan distribusi material, sehingga keterlambatan bisa dikurangi lebih dari 17% dibanding metode manual sebelumnya (Bappenas, 2022).
Kombinasi antara BIM dan AI menciptakan transformasi radikal dalam cara proyek konstruksi direncanakan dan dijalankan. BIM menyediakan data engine yang lengkap dan terstruktur, sementara AI berfungsi sebagai analytical brain yang mengolah data tersebut menjadi wawasan yang bisa digunakan untuk pengambilan keputusan strategis. Keduanya saling melengkapi dan memperkuat kemampuan manajerial proyek—bukan menggantikan manusia, tetapi mendukung manusia agar bekerja lebih cerdas dan efisien.
Dalam jangka panjang, BIM dan AI akan mengubah lanskap industri konstruksi secara menyeluruh—dari proses tender, audit proyek, manajemen aset, hingga sustainability. Bahkan di negara maju, AI kini digunakan untuk merancang sistem bangunan yang hemat energi dan rendah emisi karbon berdasarkan prediksi kebutuhan operasional jangka panjang (Jin et al., 2023).
Sayangnya, di daerah seperti Jambi, pemahaman dan penerapan teknologi ini masih sangat terbatas. Banyak kontraktor lokal masih bekerja dengan metode manual yang penuh risiko dan inefisiensi. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena kurangnya pemahaman, minimnya akses terhadap pelatihan, serta absennya kebijakan yang mendorong percepatan transformasi digital.
Di sinilah peran strategis pemerintah daerah, khususnya Dinas Teknis Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai pembina jasa konstruksi, menjadi krusial. Fasilitasi pelatihan bersertifikat, dukungan insentif untuk investasi teknologi, dan penyusunan regulasi yang progresif perlu segera dijalankan. Pemerintah daerah tidak boleh sekadar menjadi pengawas teknis, melainkan harus menjadi motor perubahan. Program-program pelatihan SDM bidang BIM dan AI tidak bisa ditunda; ini adalah investasi jangka panjang yang menentukan nasib industri konstruksi daerah.
Demikian pula dengan dunia akademis. Sudah saatnya institusi pendidikan tinggi tidak hanya menyentuh aspek pemahaman teknologi ini secara teoritis dalam Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK), tetapi mendorong penguasaan teknis yang aplikatif. Mahasiswa teknik sipil dan arsitektur harus terbiasa menggunakan software BIM, memahami alur kolaborasi digital, serta mengenal dasar-dasar AI dalam konteks pengambilan keputusan proyek. Jika tidak, kampus hanya akan mencetak lulusan yang tertinggal dari kebutuhan zaman—sarjana yang siap menganggur karena tak punya keterampilan digital yang relevan.
Stakeholder lainnya seperti asosiasi jasa konstruksi, penyedia teknologi, dan pemilik proyek harus mengambil peran aktif sebagai katalisator. Ekosistem konstruksi digital tidak akan tercipta jika pelaku industri hanya menunggu dan menonton. Dibutuhkan kolaborasi lintas sektor untuk menyusun peta jalan implementasi BIM dan AI yang realistis dan berkelanjutan.
Jika langkah-langkah strategis ini tidak segera diambil secara sistemik dan kolektif, maka industri konstruksi Jambi akan tertinggal, bukan hanya dari Jakarta, tetapi juga dari kota-kota lain yang lebih cepat beradaptasi. Ketertinggalan ini bukan soal “gaya kerja”, melainkan soal daya saing, efisiensi anggaran, ketepatan mutu, dan keberlanjutan ekonomi sektor konstruksi.
Teknologi tidak akan menunggu. Dunia tidak akan melambat hanya karena kita masih sibuk berdebat antara kebiasaan lama dan tantangan baru. BIM dan AI akan menjadi norma global yang mengatur standar kompetensi dan kualitas proyek. Dan siapa pun yang gagal menguasainya akan pelan-pelan tersingkir—tidak lagi relevan dalam rantai pasok, tidak dipercaya dalam proyek strategis, bahkan kehilangan eksistensinya di industri ini.
Kini saatnya semua pihak—pemerintah, akademisi, pelaku industri, dan komunitas profesional—memutuskan: ingin menjadi bagian dari perubahan, atau bersiap ditinggalkan oleh revolusi digital yang tak mengenal kompromi.
Oleh: Ir. Martayadi Tajuddin, MM
Penulis adalah Akademisi dan Praktisi Konstruksi
Daftar Pustaka
1. Azhar, S. (2011).Building Information Meling (BIM): Trends, Benefits, Risks, and Challenges for the AEC Industry. Leadership and Management in Engineering, 11(3), 241–252.
2. Dodge Data & Analytics. (2021). The Business Value of BIM in North America. Dodge Data & Analytics Report.
3. Buildots. (2023). Case Studies on AI-driven Construction Monitoring. Buildots Whitepaper.
4. Kementerian PUPR Republik Indonesia. (2020). Laporan Penerapan BIM pada Proyek Infrastruktur Strategis.
5. Bappenas. (2022).Laporan Evaluasi Proyek Infrastruktur Tol Balikpapan–Samarinda.
6. Jin, R., Liu, J., & Zhang, X. (2023). Integration of BIM and AI for Sustainable Construction Management. Journal of Building Engineering, 64, 105746.
7. Succar, B. (2025). Quantifying BIM Impact on Project Time and Cost: Case Studies and Empirical Evidence. Discover Materials, 2025(1), 15–28.
Tinggalkan Balasan