SuaraParlemen.co, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menilai kebijakan tarif impor yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sebagai hal yang wajar dalam dinamika perdagangan global.
“Jadi memang betul-betul terjadi perang dagang. Tetapi ini jangan dianggap sesuatu yang seolah-olah wah banget. Bisa saja, dinamika,” ujar Bahlil saat ditemui di kantornya pada Rabu, 9 April 2025.
Meskipun menganggap kondisi tersebut sebagai hal lumrah, Bahlil menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi kebijakan tarif impor dari AS. Salah satu langkah strategis yang diambil adalah mengoptimalkan lifting minyak dan gas nasional.
“Dari sisi energi, yang harus kami lakukan adalah mengoptimalkan lifting. Arahan Presiden Prabowo adalah kita harus memperhatikan ekonomi domestik dan berdiri di kaki sendiri,” katanya.
Bahlil, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar, menilai situasi perang dagang ini sebagai momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat hilirisasi dan industrialisasi, yang selama ini menjadi agenda besar pemerintah.
“Harus segera ada langkah-langkah komprehensif untuk menciptakan nilai tambah lewat hilirisasi dan industrialisasi,” lanjutnya.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo telah memberi arahan khusus untuk meninjau ulang ketergantungan impor energi dari Amerika Serikat. Saat ini, sekitar 54 persen impor LPG Indonesia masih bergantung pada AS.
“Kita tahu bahwa impor minyak kita cukup besar. Ini yang sedang kami exercise agar bisa dijadikan salah satu komoditas yang tetap dapat kita beli dari Amerika, dengan pertimbangan strategis,” jelas Bahlil.
Kebijakan tarif impor yang dikeluarkan Presiden Trump mencakup hampir semua negara mitra dagang Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menekan defisit perdagangan AS yang dianggap merugikan ekonomi domestik. Negara-negara dengan surplus perdagangan terhadap AS dikenai tarif lebih tinggi, sebagai bentuk kontribusi tambahan.
Trump menetapkan tarif impor dasar sebesar 10 persen, dengan tambahan tarif diberlakukan pada sekitar 60 negara yang dianggap memiliki hubungan dagang paling tidak adil. Indonesia termasuk di antaranya, dengan tarif sebesar 32 persen, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.
Pada 2024, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan nonmigas terhadap AS sebesar 16,08 miliar dolar AS, yang membuatnya masuk dalam delapan besar negara yang terkena tarif balasan tertinggi. Kebijakan ini berdampak langsung terhadap sektor-sektor ekspor utama Indonesia seperti garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati. (Amelia)
Tinggalkan Balasan